Atambua 39 Derajat Celcius Potret Kehidupan Di Timur Indonesia

Atambua. Nama yang terdengar asing untuk sebagian orang.

14 tahun yang lalu, karena konflik terus-menerus yang menarik perhatian internasional, mantan Presiden B.J. Habibie akhirnya mengadakan jejak pendapat untuk menentukan nasib Timor Timur. Keputusan suksesor Presiden Soeharto tersebut berujung kepada pemisahan Timor Timur dari Indonesia pada tahun 1999. Setelah merdeka, Timor Timur berganti nama menjadi Timor Leste.

Tapi masalahnya tidak berhenti disitu. Di Atambua, kota yang letaknya berada di perbatasan antara Indonesia - Timor Leste, kemudian menjadi pusat penampungan ribuan pengungsi Timor leste pasca referendum Timor Timur.  Sampai saat ini, ribuan pengungsi eks Timor Timur masih menetap di sana, mayoritas dari mereka hidup sengsara dalam perekonomian minim serta tidak punya pekerjaan tetap. Banyak anak-anak pengungsi eks timor-timur yang tidak sekolah karena orang tuanya tidak mampu. Ironisnya, mereka adalah orang-orang yang rela meninggalkan tanah kelahirannya dan memilih untuk tetap bernaung di bawah kibaran merah putih.

Sekarang sudah tahun 2013, hampir 14 tahun berlalu sejak referendum Timor Timur. Banyak sumber yang mengklaim Indonesia menunjukkan perkembangan ekonomi yang pesat, tetapi di sisi lain di tepi perbatasan, di Atambua. Kemiskinan, kurangnya pendidikan dan masalah kesehatan masih menjadi isu utama. Isu tersebut lah yang kemudian diangkat dalam film garapan sutradara Riri Riza, Atambua 39 Derajat Celcius

Dalam film ini Riri Riza memotret kehidupan Atambua melalui satu kisah keluarga pengungsi, Ronaldo dan Joao, sepasang Ayah dan Anak yang meninggalkan Timor Timur untuk tetap menjadi warga negara Indonesia. Pasca referendum Timor Timur, Ronaldo memilih berpisah dari istri dan dua orang anak perempuannya yang tinggal di Timor Leste. Ronaldo hanya membawa Joao eksodus ke Atambua karena Joao adalah anak laki-laki, seorang penerus keturunan dalam budaya Timor. Meskipun sebenarnya Joao tidak ingin dan sangat merindukan ibunya di Liquica, Timor Leste. Sebuah konflik keluarga yang dibangun diatas rasa nasionalisme.

Film ini seluruhnya menggunakan aktor-aktor lokal dan hampir sepenuhnya berbahasa Tetun dan Proto, bahasa asli orang Timor. Di awal, film ini seperti film bisu, sulit dimengerti dan mungkin membosankan untuk sebagian orang. Tetapi jika kita tetap mengikuti alur cerita sampai habis, saya merasa menemukan satu kisah drama inspiratif dan membangkitkan rasa "menjadi Indonesia".

Bagi saya secara pribadi, film ini mempertanyakan rasa nasionalisme di samping menggambarkan keindahan konflik yang terjadi di antara kedua perbandingan tersebut.

Mari sejenak membuka sejarah untuk memaknai arti film ini.



Comments

Popular Posts